(SEBUAH PERENUNGAN BERSAMA)
Salah satu ala
san terjadinya pertikaian diberbagai tempat adalah alasan perbedaan pandangan. Salah satu alasan yang cukup mencolok kalau tidak mau dikatakan mendominasi adalah masalah perbedaan agama. Agama menjadi simbol yang sangat sensitif sehingga sangat mudah menggerakkan ego para penganutnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang kadang diluar nalar dan batas-batas perikemanusiaan.
Terjadinya konflik yang dibarengi dengan tindakan yang saling menghancurkan bahkan saling membunuh seperti yang pernah terjadi pada masa lampau di Ambon, merupakan bukti bahwa simbol-simbol agama sangat mudah memancing emosi massa. Demi martabat agama, sekelompok orang tega membunuh kelompok yang berbeda dan itu diyakini sebagai sebuah tindakan yang sah dan tidak melanggar hukum maupun kaidah-kaidah agama yang dianutnya. Demi tegaknya agama, maka darah orang lain yang berbeda pandangan menjadi halal untuk ditumpahkan.
Kondisi tersebut sangat bertolak belakang dengan kaidah-kaidah ajaran agama manapun di muka bumi ini. Tidak ada satu agamapun yang menghalalkan suatu tindakan pembunuhan dan penghancuran kelompok lain yang berbeda sebagai suatu ajaran dan tindakan yang dibenarkan. Setiap agama diciptakan untuk tujuan damai bagi semua umat manusia dI muka bumi ini.
Kalau semua agama mengajarkan kedamaian, lalu mengapa masih saja terjadi konflik antar manusia yang didasari karena perbedaan agama? Dimana letak kesalahannya?
Menurut penulis, terjadinya konflik antar sesama umat manusia sesungguhnya tidak didasari atau dilatarbelakangi perbedaan agama, tetapi lebih pada kepentingan pribadi atau golongan yang ingin lebih dari kelompok lainnya. Ego manusia yang selalu ingin menang sendiri dan tampil menguasai kelompok lainnya inilan yang sebenarnya menjadi latar belakang terjadinya konflik diberbagai tempat di dunia ini.
Ibarat peperangan, tentara tidak Cuma butuh senjata tetapi juga butuh motivasi. Motivasi agama adalah motivasi yang paling ampuh untuk menggerakkan massa. Simbol-simbol agama menjadi senjata yang kuat sehingga orang rela menjadi “martir” atau ”syuhada” dalam setiap peperangan yang diyakini sebagai mempertahankan “tegaknya” agama. Memang peperangan dalam “arti khusus” melawan ketidakadilan dunia dan kesewenang-wenangan umat manusia tetap layak dikatakan sebagai martir/syuhada. Tetapi banyak peristiwa yang sebenarnya bermotif ekonomi tetapi menggunakan simbol-simbol agama sebaga penggerak massa demi memperoleh tujuan dan kekuasaan pribadi.
Oleh karena itu menurut penulis, tentu bukan agamanya yang salah tetapi orang-orang yang telah memanfaatkan agama tersebut demi kepentingan pribadinya yang patut dipersalahkan.
Sebagai sebuah perenungan, mengapa masih banyak orang-orang yang dengan mudah memanfaatkan simbol-simbol agama demi meraup kepentingan pribadinya, dan mengapa masih banyak pula orang-orang yang dengan mudah digerakkan untuk sebuah tindakan yang negatif dengan menggunakan simbol-simbol agama. Ini menjadi tugas kita semua agar tujuan dibentuknya agama menjadi alat pendamai benar –benar terwujud.
Menurut penulis, agama adalah perwujudan dari perenungan umat manusia dengan Penguasa jagat raya. Jauh sebelum munculnya agama-agama, manusia telah meyakini bahwa ada sesuatu yan lebih berkuasa dari pada manusia. Munculnya keyakinan yang terwujud dalam kegiatan Dinamisme dan Animisme merupakan hasil perenungan umat manusia pada masa itu. Pada saat manusia melihat benda-benda yang lebih besar, lebih tinggi, lebih hebat dari manusia, maka manusia meyakini bahwa benda itu lebih berkuasa dari manusia dan didalam benda itulah Penguasa bertahta. Ego manusia yang tidak pernah puas melahirkan kegiatan-kegiatan selanjutnya. Pencarian terhadap Penguasa jagat raya terus dilakukan. Animisme dan Dinamisme mulai ditinggalkan setelah perenungan umat manusia memperoleh jawaban dari Penguasa alam semesta. Muncullah kegiatan-kegiatan pemujaan Terhadap Penguasa alam semesta. Pada akhirnya pemujaan terhadap penguasa alam semesta melahirkan agama dengan penyebutan Tuhan sebagai penguasa dan pencipta alam semesta.
Kalau dicermati sebenarnya tidak ada satu agamapun yang didalamnya menyatakan bahwa ritual-ritual keagamaan dan bahkan penyebutan nama sebuah agama itu berasal dari Tuhan. Semua ritual tersebut adalah hasil perenungan umat manusia. Manusia yang membuat aturan-aturan tertentu dalam setiap agama. Disinilah yang menurut penulis perlu diwaspadai. Setiap orang bebas menafsirkan dan membuat sebuah tindakan atas sebuah penafsiran dari hasil perenungan yang dia yakini merupakan perintah Tuhan. Tidak heran maka banyak sekali aliran-aliran dalam sebuah agama, karena munculnya aliran tersebut sebenarnya disadari atau tidak, didasari pada kepentingan kelompoknya. Contoh, dalam satu agama, ritual didaerah A bisa berbeda dengan di daerah B yang memang budayanya berbeda. Penafsiran sebuah agama yang ada didaerah penjajahan/konflik bisa berbeda dengan di daerah damai. Setiap agama mengajarkan perdamaian kepada setiap umat manusia. Di jagat raya ini hanya ada satu bumi dimana manusia bersama-sama mendiami bumi dan hanya ada satu pencipta dan penguasa yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi tidak tepat jika demi menegakkan agama sekelompok orang menyerang kelompok lainnya, karena semua menuju satu tempat yang sama yang disebut surga dan memuja satu Tuhan. Perbedaan penyebutan Nama Penguasa sebenarnya hanyalah karena perbedaan bahasa saja. Dan itu harus diterima karena pada kenyataannya didunia ini tidak hanya ada satu bahasa tetapi beribu bahasa atau bahkan berjuta bahasa dengan berbagai pengembangan dialeknya. Jadi sah-sah saja di satu tempat disebut “A” di tempat lain disebut “B”. A dan B adalah sama-sama penguasa alam semesta yang disembah.
Dari penjelasan yang sederhana ini, penulis meyakini bahwa agama bukan sumber konflik. Agama justru lahir untuk mengatasi konflik antar sesama umat manusia yang sama-sama mencari Tuhan sebagai pencipta dan penguasa alam semesta. Manusialah sumber konflik itu sendiri. Ego untuk mendominasi kelompok lainnya adalah penyakit umat manusia dimanapun berada, dan inilah sumber konflik itu. Hanya manusia yang mengerti dan telah mengalami “perjumpaan” dengan Tuhan melalui agamanya yang mampu menghilangkan penyakit dalam dirinya yaitu ego untuk berkuasa atas manusia lainnya.
Menguasai sesama manusia bisa dalam bentuk penguasaan ideology, ekonomi, politik, social, budaya maupun hankam. Cara yang paling mudah adalah menggunakan isu “agama”. Jadi pertikaian yang digembar-gemborkan melalui berbagai media cetak maupun elektronik sebagai pertikaian berlatarbelakang agama adalah salah 100%. Agama tidak mengajarkan pertikaian tetapi manusia memanfaatkan agama sebagai sarana pembenaran untuk bertikai dengan sesama manusia.
Mari kita renungkan bersama, sudahkah agama yang kita yakini kebenaran ajarannya telah kita manfaatkan sebagaqai alat agar kita mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Dengan demikian peristiwa perjumpaan dengan Tuhan melalui agama yang kita anut akan membawa kedamaian bagi umat manusia.
