Selasa, 13 November 2007

MENCARI NILAI DALAM UNGKAPAN TRADISI

Banyak orang asing pakar budaya Jawa mengadakan penelitian, menyusun analisis dan menunjukkan bukti-bukti bahwa budaya Jawa memiliki nilai yang dalam, luas, dan lengkap, mencakup ranah vertikal, horizontal dan integral. Kecuali nilai adi luhung, mereka mengemukakan kandungan nilai metafisis, religius, dinamis, modern dan ilmiah dalam budaya asing.
Biarlah penelitian berlanjut, sementara kita menampung dan mencatat bahwa budaya Jawa juga menghasilkan maling, nayab, ubud, weri, nyeler, ngutil, nyebrot, copet, gedhor, begal, kapak, kecu, grayak, garong, rampok, bandhol, gentho, dan sebangsanya.
Memang banyak ungkapan tradisi bahasa Jawa yang artinya berisi nila-nilai yang dapat digunakan, bahkan dikembangkan dalam era awal abad ini. Misalnya: Kena iwake ora buthek banyune (tercapai maksudnya tidak menimbulkan masalah). Nyambung watang putung (mendamaikan orang-orang yang bermusuhan).
Juga banyak ungkapan yang isinya banyak mengandung sesuatu yang tidak seyogianya dilakukan. Orang dapat mengambil nilai yang berada dibalik ungkapan itu. Kita dapat menemukan nilai dengan melakukan sesuatu yang berlawanan arti dengan ungkapan tersebut. Misalnya: kakehan gludug kurang udan (terlalu banyak kata kurang bukti). Berlawanan dengan hal itu, sebaiknya kata-kata disertai dengan bukti. Nyumur gumuling (orang yang tidak dapat menyimpan rahasia). Sebaliknya, hendaknya kita dapat menyimpan rahasia.
Sedang ungkapan semacam berikut perlu dipertimbangkan penggunaannya, bahkan kalau perlu ditarik dari peredaran, karena sudah tidak sesuai dengan jamanya. Atau dapat direvisi dan direformasi diselaraskan dengan perkembangan peradabaan kehidupan manusia Indonesia baru. Misalnya : kanca wingking (isteri) menjadi kanca sareng, kanca gesang, kanca sareng gesang, atau kanca mangun brayat. Tuna satak bathi sanak (orang memperoleh kerugian kurang uang, tetapi memperoleh keuntungan tambah teman) menjadi bathi satak bathi sanak.
Pencarian nilai semacam itu dapat dilanjutkan, dan hasilnya dapat digunakan oleh generasi selanjutnya.


MENCARI NILAI DALAM UNGKAPAN TRADISI

Orang mengatakan bahwa budaya Jawa mempunyai nilai adi luhung. Kalau yang mengatakan demikian orang Jawa, berarti orang Jawa memuji dan meninggikan dirinya sendiri. Baiklah pertanyaan tersebut kita kesampingkan, karena orang Jawa memiliki nilai andhap asor lembah manah, tidak meninggikan diri. Kalau yang mengatakan demikian orang asing pakar budaya Jawa, baiklah kita perhatikan. Selanjutnya pernyataan tersebut perlu dipertanyakan, diteliti, dan dibuktikan kebenarannya. Memang mereka banyak mengadakan penelitian, menyusun analisis, dan menunjukkan bukti-bukti bahwa budaya Jawa memiliki nilai yang dalam, luas, dan lengkap, mencakup ranah vertikal, horizontal, dan integral. Kecuali nilai adi luhung, mereka mgemukakan kandungan nilai metafisis, religius, dinamis, modern, dan ilmiah dalam budaya Jawa (Sarasehan Internasional Pusat Lembaga Kebudayan Jawi Surakarta, 28-30 November 1985). Biarlah penelitian berjalan dan berlanjut, sementara kita menampung dan mencatat bahwa budaya Jawa juga menghasilkan maling, nayab, ubud, weri, nyeler, nyebrot, ngutil, copet, gedhor, begal, kampak, kecu, grayak, garong, rampok, bandhol, gentho, koruptor, dan sebangsanya itu. Banyak orang Jawa munafik, curang, culas, sewenang-wenang, menjilat ke atas menginjak ke bawah. Tidak sulit mencari orang Jawa yang sombong, kikir, cabul, iri, rakus, marah, malas, angkuh, cerewet, sok, pembantah, ingkar janji, rendah diri, pemurung, cepat tersinggung, egois, berlebih-lebihan, dan lain-lainnya (Sudharto dan Sudiyatmana, 1960). Dalam perjalanan sejarah orang Jawa juga luwes mengikuti arus tahu sama tahu, patgulipat, kongkalikong, sekongkol, main sogok, main suap, salam tempel, dan sejenisnya.


Nilai, Ungkapan, dan Tradisi
Nilai adalah sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Nilai Tradional yang dapat mendorong pembangunan perlu kita kembangkan). Ungkapan adalah gabungan kata yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya (Dalam peristiwa kebakaran itu petugas keamanan menjadi kambing hitam, padahal sebenarnya ia tidak mengetahuinya sama sekali). Makna kambing hitam tidak sama dengan makna kambing, binatang, dan hitam, warna. Tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam masyarakat; penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar (Perayaan hari besar agama itu janganlah hanya merupakan tradisi saja, haruslah dihayati maknanya). Arti kata dan contoh penggunaanya tersebut semua termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1989.
Tentang nilai.


Sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, misalnya terkandung dalam ungkapan:
Binoja krama = Tamu yang diterima dengan baik dan dijamu makanan yang lezat.
Lahang karoban manis = Orang yang elok parasnya dan luhur budi pekertinya.
Punjul ing apapak = Orang yang unggul dari sesamanya.
Sedang untuk memperjelas diketemukan hal-hal yang tidak penting atau tidak berguna, misalnya termuat dalam ungkapan berikut:
Madu balung tanpa isi = Mempertengkarkan sesuatu yang tak bermanfaat.
Tumbak cucukan = Orang yang suka mengadu domba orang lain. Weruh ing grubyug ora weruh ing rembug = Orang yang mengikuti perbuatan orang banyak, tetapi tidak mengerti maksud perbuatan itu.
Tentang ungkapan. Dalam praktik kehidupan ungkapan mempunyai nuansa bentuk dan makna sesuai dengan orang/masyarakat pengguna disuatu tempat, pada waktu, dan dalam suasana tertentu. Disamping Madu balung tanpa isi, kita dapati Rebut balung tanpa isi.
Cincing-cincing teles = Cincing-cincing klebus.
Kerot tanpa untu = Kerot ora duwe untu. Nyolong pethek, sering diucapkan Nyolong pethel Sadulur sinarawedi, menjadi Sadulur sinoroh wadi. Katepan ngrangsang gunung, dienakucapkan katepang ngrangsang gunung.
Dudu sanak dudu kadang yen mati melu kelangan = “Tiyang jejodhoan, sanadyan sanes rah dagingipun piyambak, manawi wonten ingkang pejah, ingkang kantun mesthi prihatos” (Dirdjosiswojo, 1954). = Seseorang yang tidak berhubungan darah dengan orang yang sedang bicara (Darmasoetjipta, 1985). Dalam masyarakat biasa diartikan “bojo” isteri atau suami.
Gecul kumpul = “tiyang ingkang ugal-ugalan kempal sami dene ugal-ugalan, sarta saiyeg saekapraya” (Dirdjosiswojo, 1954). = Kawanan orang biadab yang telah sepakat berbuat sesuatu yang melanggar kesusilaan (Darmasoetjipta, 1985).
Kebo mulih ing kandhage = “Samukawis ingkang sampun lami ical, wasana wangsul dhateng ingkang gadhah” (Dirdjosiswojo, 1954) = Orang yang sudah lama pergi, kemudian pulang kembali ke kampung halaman (Darmasoetjipta,1985).
Tentang tradisi. Biasa orang makan dengan duduk, dalam susanan tenang, tidak hanya bicara. Tradisi demikian sudah berlaku lama di mana pun. Kini mentradisi dalam standing party orang makan dengan berdiri, suasana hiruk, bicara lebih bebas. Dulu siswa menjemput guru yang datang, membawakan tas, menuntun sepedanya. Kalau sekarang dilakukan, siswa yang lain mengolok-olok, temannya itu ngolor. Dulu orang muda dijodohkan oleh orang tua, sekarang mereka mencari jodoh sendiri melalui internet. Dengan multisebab tradisi senantiasa berposes sudah, sedang, dan akan berubah/berkembang.

Dekat dengan Budi Pekerti Luhur
Sesuai dengan definisi di muka, berbicara masalah nilai berarti berbicara mengenai sifat-sifat yang penting, berguna, baik, mulia, luhur bagi kemanusiaan. Sering kita dengar dan baca kata nilai dipleonasmekan menjadi nilai luhur, sehingga berbicara tentang nilai pada hakikatnya berbicara tentang sifat-sifat budi pekerti luhur. Sifat-sifat tersebut adalah: bekerja keras, berani memikul resiko, berdisiplin, beriman, berhati lembut, berinisiatif, berpikir matang, berpikiran jauh ke depan, bersahaja, bersemangat, bersikap konstruktif, bersyukur, bertangggung jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdik, cermat, dinamis, efisien, gigih, hemat, jujur, berkemauan keras, kreatif, kukuh hati, lugas, mandiri, mawas diri, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan, menghargai waktu, pemaaf, pemurah, pengabdian, pengendalian diri, produktif, susila, tangguh, tegas, tekun, tepat janji, terbuka, ulet (Edi sedyawati, 1997). Orang Inggris dan Amerika menyebut nilai-nilai luhur itu values, yang jabarannya lebih sederhana, yakni: Kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri dan potensi, disiplin diri dan tahu batas, kemurnian dan kesucian, setia dan dapat dipercaya, hormat, cinta kasih sayang, peka dan tidak egois, baik hati dan ramah, adil dan murah hati (Linda dan Richard Eyre, 1997). Nilai luhur juga sering disebut keutamaan atau nilai keutamaan. Sedang Titi Mumfangati (1998) menggunakan kata keutamaan moral untuk nilai tersebut. Disini dikutipkan bagian dari pengantar bukunya, yang isinya sejalan dengan siratan suratan ini, sebagai berikut:

Menjelang berakhirnya abad ke-20 yang sekaligus menjelang datangnya abad ke-21, kehidupan umat manusia di seluruh dunia dihadapkan pada krisis nilai, baik nilai etika-moral yang bersumber dari nilai-nilai agama maupun nilai etika-moral yang bersumber dari nilai-nilai budaya. Di dunia barat, misalnya, semakin sedikit kawula muda yang pergi ke tempat-tempat ibadat. Olahraga dengan para atletnya, demikian pula dunia musik dengan artisnya, adalah “agama” dan “Tuhan” baru. Nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya yang pernah hidup dan diagungkan sebagai motor perubahan sosial dalam masyarakat dianggap semakin usang. Didunia timur, agama dan budaya memang masih mendapat perhatian. Orang muda yang mendatangi tempat-tempat ibadah untuk beribadah justru semakin kelihatan marak. Juga nilai-nilai etika, moral, dan sosial yang bersumber dari tradisi, masih dicoba diamalkan dan diimplementasikan dalam kehidupan nyata yang semakin modern. Tetapi tak dapat dipungkiri, materialisme dan nilai-nilai yang dibawa oleh kapitalisme terus menggerogoti nilai-nilai yang bersumber dari tradisi dan budaya. Pencarian tersebut bukan sekedar untuk menghidupkan kembali budaya lama dan merelevan-relevankan nilai lama di tengah zaman yang diwarnai banyak perubahan. Lebih dari itu, penelusuran budaya lama beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dijadikan semacam tawaran nilai dan bahan untuk menciptakan dialektika maupun sintesa nilai di tengah-tengah masyarakat. Dengan adanya banyak tawaran nilai, yang diantaranya nilai bersumber dari tradisi, perkembangan sosial dan budaya yang terjadi diharapkan lebih dinamis, aspitratif, serta sesuai dengan kondisi faktual sosiologi dan kultural bangsa Indonesia.


Berbagai Nilai
Berikut disajikan ungkapan tradisi yang mengandung nilai-nilai yang dapat digunakan, bahkan dikembangkan dalam kehidupan, dengan catatan kemungkinan terdapat beberapa yang perlu dipertimbangkan disesuaikan dengan zaman sekarang. Ungkapan-ungkapan tersebut antara lain:
1. Adus kringet = Orang yang bekerja keras dan giat, agar keluarganya selamat dan bahagia.
2. Angon iriban = Orang yang bersikap hati-hati dengan sopan santun berbuat sesuatu.
3. Balung gajah = Keluarga besar yang jaya, kuat, dan sehat.
4. Bang-bang alum-alum = Orang yang bertanggung jawab, dapat menjadikan kejayaan atau
kejatuhan negara,
5. Bayu pinerang = Warga keluarga berselisih, kemudian berdamai.
6. Bathok bolu isi madu = Orang yang tampaknya tak berharga, tetapi memiliki kelebihan/
keistimewaan. Orang berbadan jelek, berbudi luhur.
7. Beja kemayangan = Orang mendapat keuntungan dan kebahagiaan.
8. Berbudi bawa leksana = Orang yang berbudi pekerti luhur.
9. Bima akutha wesi (watu) = Orang kuat, jujur, dan kemauan keras.
10. Binoja krama = Tamu yang dijamu dengan sajian lezat dan penghormatan yang memadahi.
11. Cagak elek = Sesuatu sekedar penawar kantuk.
12. Ceceker = Orang yang berusaha mencari nafkah.
13. Cepak jatukramane = Orang yang mudah mendapat jodoh.
14. Climen = Penyelenggaraan perhetalan (hajat) secara sederhana.
15. Colong (nyolong) pethek = Orang yang banyak memiliki keistimewaan di luar dugaan
umum.
16. Criwis-cawis = Orang yang banyak bicra, namun juga siap dan mampu mengerjakan
sesuatu.
17. Dieletana segara gunung sap pitu = Karena karsa Allah, betapapun banyak rintangan,
pemuda dan pemudi itu hidup bahagia bersama,
18. Gadhangan jago patohan = Calon andal.
19. Gendhon rukon = Suami isteri yang stia dan rukun.
20. Gliyak yen tumindak = Orang bekerja pelan tetapi pasti. Mirip “slow but sure”.
21. Idhep-idhep nandur pari jero = Orang berbuat kebajikan, meskipun barangkali lama baru berhasil.
22. Jangkrik mambu kili = Orang yang bersemangat berjuang,
23. Jembar segarane = Orang yang pemaaf.
24. Jiniwit katut = Warga mendapat perlakuan tidak baik, keluarga ikut menanggung.
25. Kabegjan kabrayan = Orang yang berbahagia dan berkeluarga besar.
26. Kaca benggala = Orang yang pantas menjadi teladan.
27. Kalah cacak menang cacak = Serba coba. “Trial and error”.
28. kapasang yoga = Sesuatu yang tepat (baik, seyogianya).
29. Katon cepaka sawakul = Orang yang menyenangkan, ia dicintai banyak orang.
30. Kena iwake ora buthek banyune = Tercapai maksudnya tidak menimbulkan masalah.
31. Kendhit minang kadang dewa = Orang yang dapat menanggulangi bahaya serta mendapat rahmat Allah.
32. Kudhi pacul singa ladhepa = Yang mampulah yang berhak, tidak dibedakan siapapun.
33. Kulak warta adol prungon = Orang yang berusaha mencari dan mendengarkan berita (bersemangat “journalism”).
34. Lir mimi lan mintuna = Suami istri rukun dan setia.
35. Lir satu lan rimbagan = Persahabatan yang tepat dan serasi.
36. Madal pasilan = Orang pamit dengan hormat.
37. Mrojol ing ngakerep = Orang luar biasa.
38. Nandur wiji keli = Orang memelihara generasi penerus yang terlantar.
39. Ngebun-ebun enjing anjejawah sonten = Orang melamar.
40. Njajah desa milang kori = Orang mencari sesuatu (pengalaman) sampai di tempat-tempat yang jauh.
41. Njara langit = Orang yang amat pandai.
42. Nyambung watang putung = Pendamai orang –orang yang bermusuhan.
43. Opor bebek mentas awake dhewek = Swastawan dan swastawati. Orang yang bisa mandiri. Orang hidup bahagia dengan hasil usahanya sendiri.
44. Ora tedheng aling-aling = Orang berterus terang.
45. Pandhita amreksa candhana = Orang yang berbudi dan pekerti luhur, namanya termasyur baik.
46. Panjul ing apapak = Orang yang berlebihan daripada umum.
47. Rebut cukup = Penyelenggaraan perhelatan sederhana, maksud tercapai.
48. Sabar drana = Orang yang sangat sabar.
49. Sapa salah seleh = Orang yang bersalah yang berhenti.
50. Sembur-sembur adas = Doa restu orang tua.


Nilai di Balik Ungkapan
Banyak ungkapan yang artinya sesuatu yang tidak seyogianya dilakukan. Orang dapat mengambil nilai yang berada di balik arti ungkapan itu. Kita dapat menemukan nilai dengan melakukan sesuatu yang berlawanan dengan arti ungkapan tersebut, misalnya: (1) Jarit lawas ing sampiran atau Wastra lungsed iang sampiran = Kepandaian yang hilang sebab tidak pernah digunakan. Kebalikan dari itu, seyogianya kepandaian senantiasa digunakan agar tidak hilang. (2) Kakehan gludhug kurang udan = Terlalu banyak kata kurang bukti. Berlawanan dengan hal itu, sebaiknya kata-kata disertai dengan bukti. (3) Nyumur gumuling = Orang yang tidak dapat menyimpan rahasia. Sebaliknya, hendaklah orang dapat menyimpan rahasia.
Ungkapan-ungkapan semacan itu antara lain :
1. Arep jamure emoh watange = Enggan ikut bekerja, tetapi minta bagian hasilnya. Menginginkan anaknya, tetapi menolak orang tuanya.
2. Ati bengkong oleh oncong = Orang yang bermaksud jahat mendapatkan dorongan temannya.
3. Bau kapine = Orang bertindak tidak adil.
4. Belo melu Seton = Orang ikut-ikutan saja melakukan sesuatu. Sejalan dengan Rubuh-rubuh gedhang.
5. Bubuk oleh eleng = Orang berkeinginan jahat menemukan cara atau jalan melakukannya,
6. Calak cangkol kendhali bol cemethi tai = Orang yang suka menyela, mendahului keinginan orang lain, dengan banyak tingkah laku yang kurang sopan.
7. Cangkem gatel = Orang yang suka mempercakapkan kejelekan orang lain.
8. Cangkem karut = Pemakan yang rakus.
9. Cangkem trocoh = Orang yang suka mengumpat maki atau mengeluarkan kata-kata tidak senonoh.
10. Car-cor kaya wong kurang janganan = Orang yang berbicara seenaknya asal keluar tanpa pertimbangan.
11. Dadia godhong emoh nyuwek, dadia banyu emoh nyawuk, dadia suket emoh nyeggut, dadia dalan suthik ngambah = Orang yang sangat dibenci. Orang tidak mau berhubungan lagi dengannya.
12. Dahwen pati open = Orang yang suka memperhatikan dan mencela orang lain.
13. Dudu berase ditempurake = Orang menyambung pembicaraan yang tidak sesuai dengan hal yang dibicarakan.
14. Duk sandhing geni = Pria dan wanita yang bergaul bebas.
15. Durung acundhuk acandhak = Orang yang belum mengerti permasalahannya sudah ikut mencampurinya.
16. Gajah ngidak rapah = Orang melanggar peraturannya sendiri.
17. Garang garing = Kelihatannya kecukupan, kenyataanya kekurangan.
18. Gecul kumpul = Orang jahat berkumpul bersama orang jahat.
19. Glugu ketlusupan ruyung = Orang baik dicampuri/ dipengaruhi orang jahat.
20. Gondelan poncoting tapih = Suami dalam pengasuhan isteri.
21. Gong lumaku tinabuh = Orang yang minta diguruhi. Sejalan dengan Sumur lumaku tinimba.
22. Gumembrang ora adang = Perempuan cantik, tetapi bodoh. Juga diungkapkan dengan Gumendheng ora nggoreng dan Kenes ora ethes.
23. Hadigang hadigung hadiguna = Orang yang menyombong kekuatan, kebesaran, dan kepadaiannya.
24. Jarit lawas ing sampiran = Kepandaian yang muspra karena tidak digunakan. Sama dengan Wastra lungsed ing sampiran. Sejalan dengan Kebo bule mati setra.
25. Jurang grawah (growah) ora mili = Banyak janji tidak ditepati. Sejalan dengan kakehan gludhug kurang udan.
26. Kadang konang = Yang kaya yang diakui saudara atau keluarganya.
27. Kaineban lawang tobat = Tiada maaf baginya. Terlambat sudah.
28. Kapok lombok = Jera hanya sementara, lain kali melakukan lagi.
29. Mada kawongan = Orang yang mencela sesuatu, tetapi sesungguhnya ia menghendakinya.
30. Madu balung tanpa isi = Orang memperebutkan sesuatu yang tidak berguna. Ungkapan yang searti rebut balung tanpa isi. Juga Madu kemiri kopong. Rebut kemiri kopong.
31. Maling arep = Orang meminjam sesuatu tidak mau mengembalikannya, atau orang menghilangkan sesuatu milik orang lain tidak mau menggatinya.
32. Mancak wadhah tulupan = Orang yang tidak dapat menyimpan/menggunakan penghasilannya.
33. Mbidhung (bidho) api rowang = Orang yang mengganggu atau mencelakakan orang lain dengan berpura-pura sebagai kawan.
34. Meneng wada uleran = Orang yang keliatannya berbudi baik, sesungguhnya berbudi jahat. Sering dikatakan Meneng-meneng widara uleran. Meneng-meneng idu uleran.
35. Mogel kul = Orang yang enggan keluar dari rumahnya.
36. Ndandang ngelak = Orang yang mengharap kesengasaraan orang lain.
37. Ngadon-adoni = Orang yang berusaha agar orang lain berselisih.
38. Ngajah elar = Orang yang ingin menguasai segalanya.
39. Ngedebog bosok = Orang yang bermuka dan berhati buruk.
40. Ngethong umos = Orang yang tidak dapat menyimpan rahasia.
41. Nggeret pring saka pucuk = Orang yang mempersukar pekerjaan yang mudah. Orang yang mengerjakan sesuatu dengan cara yang tidak tepat.
42. Ngilani dhadha = Orang yang menghina orang lain.
43. Ngulungake endhase, nggondheli buntute = Orang yang memberikan sesuatu kepada orang lain, tetapi hatinya tidak merelakannya.
44. Njabung alus = Orang yang menipu dengan cara yang halus.
45. Njagakake endhoge Si Blorok = Orang mengharapkan sesuatu yang belum pasti.
46. Rai gedheg. Rai trumpah. Rai asu. Rai dhingklik = Orang yang tidak punya malu melakukan perbuatan hina.
47. Rampek-rampek kethek = Orang yang mendekat secara baik untuk berbuat jahat.
48. Rupak jagade = Orang yang kehabisan teman-teman bergaul, karena mereka membencinya.
49. Sedhakep (sidhakep, sadhakep) ngawe-awe = Kelihatannya tidak melakukan sesuatu, sesungguhnya ia berperan dalam peristiwa suatu kejahatan.
50. Uwis kebak sundukane = Orang yang sudah terlalu banyak melakukan kejahatan.


Usaha Memperoleh Nilai baru
Ungkapan semacam berikut perlu dipertimbangkan, bahkan kalau perlu ditarik dari peredaran , karena sudah tidak sesuai dengan jamannya. Atau dapat direvisi atau direformasi diselaraskan dengan perkembangan peradaban kehidupan manusia.
Misalnya:
1. Kanca wingking = Isteri. Menjadi Kanca sareng, Kanca gesang, Kanca sareng gesang. Kanca mangun brayat.
2. Satru bebuyutan = Perseteruan panjang dari generasi ke generasi turun-temurun. Menjadi Mitra bebuyutan = Kerukunan yang berlanjut.
3. Swarga nuntut neraka katut = Istri. Menjadi Swarga bareng ginayuh neraka bareng pinacuh. Swarga bareng sinedya neraka bareng dinuwa.
4. Tuna satak bathi sanak = Orang memperoleh kerugian kurang uang (harta), tetapi memperoleh keuntungan tambah teman (saudara). Managemen modern menghendaki Bathi satak bathi sanak.
5. Undhaking pawarta sudaning kiriman = Kebiasaan berita ditambah, kiriman dikurangi. Mengapa tidak jujur. Apa adanyalah Apa anane pawartane lan kirimane.

Dari paparan diatas tersimpul bahwa kita dapat menemukan/ memperoleh nilai langsung dari arti ungkapan tradisi (Kena iwake ora buthek banyune = Tercapai maksudnya tidak menimbulkan masalah), dari balik (lawan) arti ungkapan tersebut (Jurang grawah ora mili = Banyak janji tidak ditepati, menjadi kita dapat menepati janji), dan dengan merevisi dan mereformasi ungkapan tersebut (Tuna satak bathi sanak = Memperoleh kerugian kurang uang, tetapi memperoleh keuntungan tambah teman, menjadi Bathi satak bathi sanak = Memperoleh keuntungan tambah uang dan memperoleh keuntungan tambah teman).


Pencarian nilai semacam itu dapat dilanjutkan, dan hasilnya dapat digunakan oleh generasi selanjutnya. Semoga.




Daftar Pustaka

- Darmasoetjipta, 1985, Kamus Peribahasa Jawa, Yogyakarta: Kanisius.
- Dirdjosiswojo, 1954, Bebasan lan Saloka, Solo: Toko Buku Tiga.
- Edi Sedyawati, 1997, Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Jakarta: Balai Pustaka.
- Linda dan Richard Eyre, 1997, Mengajarkan Nilai-nilai Kepada Anak (Teaching Your Children Values), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
- Poerwadarminta, WJS, 1939, Baoesastra Djawa, Batavia, Groningen: JB Wolters’ Uitgevers Maatshappij NV.
- Sudharto dan Sudi Yatmana, 1990, Tata Krama, Membangun Keselamatan Bersama, Semarang: Media Wiyata.
- Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
- Titi Mumfangati, 1998, Keutamaan Moral dalam Budaya Jawa, Menurut serat Margawirya, Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa.